Showing posts with label sastra. Show all posts
Showing posts with label sastra. Show all posts

ELEGI SENJA


Pagi masih belum benar-benar menampakkan pendarnya, matahari masih malu-malu untuk menyapa bumi. Bergegas, kutangkupkan sarung yang ku kenakan sehabis salat subuh. Tergopoh-gopoh mencari sesuatu, berharap ia nyata. Setengah berlari, ku susuri jalan setapak yang belum jadi. Rumah kakek adalah tujuanku. Biasanya sepagi ini, kakek sudah beranjak ke kebun atau sawahnya. Terlambat sedikit saja, aku hanya menjumpai gelas kopinya yang kosong, petanda ia sudah tenggelam dalam aktifitasnya. Dan kalau sudah demikian, kakek akan sulit untuk diajak bicara. Baginya bekerja adalah ibadah, harus dilakukan dengan sepenuh jiwa, karena akan berpengaruh terhadap hasil yang akan dipanen.

Rumah kakek memang tidak terlalu jauh dari rumah orangtuaku, sekitar 2 KM. Namun jalan yang berkelok, sedikit mendaki dan cenderung curam, membuatku agak kepayahan untuk menapakinya. Lalai sedikit saja, bisa terpeleset dan jatuh. Lamat-lamat kulihat embun membentuk barisan, sedikit mengaburkan jarak pandangku. Namun, tekadku untuk bertemu kakek secepat mungkin, membuat tenagaku seakan berlipat-lipat, padahal perutku masih kosong melompong. Kuabaikan semua itu demi sebuah jawaban.

Setiba di pekarangan, kulihat rumah panggung itu terlihat tenang. Model rumah kakek memang unik, khas rumah-rumah yang ada di sulawesi selatan. Baginya, identitas budaya tidak boleh dihilangkan. “Kalau tidak ada lagi rumah seperti ini. Tidak akan kau tahu identitasmu”. Kata kakek suatu hari kepadaku. Aku sempat nyiyir, “masak sih rumah jadi identitas. Yang identitas itu KTP”. Kataku dalam hati, tak berani membantahnya. Mataku menyapu kolong rumah, namun kakek tak terlihat. Sambil menarik nafas dalam-dalam, kucoba untuk menapaki tangga rumah kakek. Ku lihat pintu rumahnya terbuka lebar. Sambil melongokkan kepalaku ke dalam rumah kakek.
“Assalamu’alaikum. Kakek...kek, ini Rida Kek”. Namun tak ada jawaban.

Berkali-kali kupanggil, tetap saja tak ada jawaban. Ah.. mungkin aku sudah lambat. Tapi mengapa pintu rumah kakek masih terbuka. Biasanya kakek orangnya sangat detail. Tidak mungkin ia pergi dengan pintu rumah masih tetap terbuka. Akhirnya, kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah kakek. Saat mau kuayunkan langkahku. Terdengar suara yang sudah sangat akrab ditelingaku.

“Sudahkah kau dipersilahkan masuk.”

“Eh..kakek, maaf. Aku mengira kakek lupa menutup pintu”.

“Tapi, kakek dimana?”

“Disini, di dekatmu”

“Ihh...tapi kek, aku tak melihatmu.” Kataku, sedikit bergidik.
Kenapa pula kakek mempermainkanku sepagi ini, apa dia tidak tahu kesulitanku untuk menemuinya.

“Masuklah, temui kakek di kamar”

Sedikit ragu, ku ayunkan langkahku. Dengan sedikit berjingkrat, suara langkahku menimbulkan bunyi di lantai papan, yang sudah mulai lapuk. Ku singkap tirai lusuh yang menutupi kamar kecilnya. Ku lihat kakek tengah khusuk, mulutnya komat kamit. Di atas sajadah, kulihat bulir air matanya menetes, namun tak kudengar suara terisak. Matanya sembab, meskipun tertutup oleh kelopaknya. Tenang tanpa suara. Hanya sesekali suara ayam berkokok, tanda pagi benar-benar diterangi matahari. Ingin kusapa kakek, tapi kuurungkan demi membiarkan ia bercengkrama dengan Tuhannya.

Kuputar badanku, untuk menunggu kakek di kursi kayu diruang tengah rumah.

“Duduklah, disamping kakek”

Terhenyak aku putar haluan mendekati kakek. Tapi keherananku semakin mengumpal, saat ku lihat kakek tanpa ekspresi. Dengan pelan, duduklah aku disamping kakek. Tak tahu harus berkata apa-apa. Kepalaku terasa nyut-nyutan, mau mencari jawaban tapi malah semakin banyak pertanyaan yang berkelindan. Kakek pagi ini, terasa begitu misterius. Penuh aura mistis, terasa sejuk dan damai.

“Isyarat ini sepertinya sudah dekat”
“Isyarat apa, Kek?
“Keadilan”
“Maksud Kakek?
“Aku tahu, yang ingin kau tanyakan. Memang saat keraguan melingkupi manusia, mereka membutuhkan jawaban. Tapi, tahukah engkau nak, saat jawaban tersingkap yang muncul adalah pertanyaan-pertanyaan.”
“Darimana kakek tahu, padahal aku belum menyampaikannya? Kataku sedikit kaget.
“Aku tidak mengetahuinya nak, tapi aku menyaksikannya”

Pikiranku kini terasa hanyut entah kemana. Betapa rumitnya untuk sekedar berbicara dengan kakek. Membuat otakku bekerja lebih ekstra untuk mencernanya.

“Kakek menyaksikan apa yang saya tanyakan?’
“bukan pertanyaan, tapi makna yang ingin kau sampaikan”
“kakek menyaksikan makna?
“Makna itu memiliki makna, terkadang makna itu hanya bisa disaksikan, terkadang juga makna sesuatu itu tidak memiliki makna”
“saya bingung, kek”
“baguslah, itu langkah awal menyelami makna”

Rasanya aku dilemparkan dipadang pasir yang gersang, seperti mengharapkan air namun hanya dapat mencerna oase. Pertanyaan yang membuatku pagi-pagi harus bertemu kakek, kini menjadi berlapis-lapis.

“Kek, aku masih penasaran”
“Tentang apa?
“Mengapa kakek tidak membiarkan aku menyampaikan pertanyaan?
“karena engkau mengetahui sedikit rahasia, yang tidak engkau fahami”
“Keadilan, makna dan rahasia, semua itu maksud kakek”

Kakek menatap mataku dalam-dalam,
“sepertinya engkau sudah mulai mencerna”
“apa yang dapat saya cerna, kalau semua yang kakek sebut mengerutkan otakku”
“Hahahahaha.....”
“Kok, kakek malah tertawa”
“Datanglah nanti sore, sepulang aku menuntaskan semua urusan. Dan engkau akan tahu sedikit rahasia yang ingin kau ketahui”
“Mengapa tidak sekarang saja”
“Karena jawabannya hanya bisa terungkap pada waktunya”
“Baiklah kek...”

Dengan malas, aku pamit mencium tangan kakek. Sebagai adab kesopanan yang selalu diajarkan terhadap orangtua.

***

“Rida..rida..” terdengar suara ibu memanggil
“Aku masih capek, bu”
“ayolah, cepat bangun. Kita kerumah kakek sekarang”
“sekarang pukul berapa, bu?
“pokoknya ini sudah sore, lihat sendiri saja”

Teringatlah aku tentang janji bertemu kakek. Berbegaslah aku untuk mandi.

“Tidak usah mandi, sekarang kita berangkat”
“Baiklah, Bu”
“Saya memang ada janjian dengan kakek sore ini”
“Apa..............???
“Iya, tadi pagi saya kerumah kakek. Tidak sempat pamit sama ibu, karena kulihat pintu kamar ibu masih tertutup. Mungkin ibu masih tertidur”
“Anakku.....!!! ibu tidak sanggup menahan gejolak emosinya. Matanya tiba-tiba menjadi merah berair.
“Kenapa Ibu, apa yang terjadi?
“Dini hari tadi, Ibu dan Bapakmu mengantarkan kakekmu ke rumah sakit, dan.....”
“Kakek sakit apa bu” kataku linglung
“Kakek sudah meninggalkan kita, tadi sore sepulang dari rumah sakit. Ia hanya berkata, bahwa ia ingin menepati janjinya”

Gemetar seluruh tubuhku, seakan dunia terbalik. Badanku terasa ringan. Ambruk, meraung-raung. Ibu memapah langkahku ke rumah kakek dengan terus menghiburku. Tapi ibu tidak tahu apa yang melanda akal dan perasaanku.

Sesampai di rumah kakek, tersungkur aku di tubuh kaku itu. Kupeluk erat sambil meronta.

“Nak....” ku dengar suara ibu
“Sebelum kakekmu pergi, ia menitipkan secarik kertas ini buatmu”

Dengan gemetaran, kuraih secarik kertas itu. Perlahan kubaca tulisan kakek.


“Rida, engkau sudah memahami tentang sedikit rahasia itu, bukan? Bila engkau ingin mengungkap jawaban atas pertanyaanmu. Carilah keadilan, makna dan rahasia itu. Kakekmu sudah menepati janjinya, sekarang engkau akan merasakan derita pencarian. Bersabarlah......!!!”


*) Muh. Syahudin_Pegiat Literasi

Untuk Engkau diri-ku


22 januari bukanlah semata kenangan, tetapi sebuah peristiwa dalam sejarah yang begitu membekas dalam relung jiwaku. Sebuah peristiwa penyatuan Jamal dan Jalal, sebentuk Ying dan Yang. Suatu kejadian dimana sebagian diriku telah kutemukan. Tentang sebagian perjalanan hidup yang mengisi setiap langkahku. Sebagaimana kerinduan yang membias, kehadiranmu adalah pengobatnya.

Sebelas tahun silam, untuk pertama kalinya aku mengenal hakikat cinta. Medium makna yang sudah redup telah kau sinari dengan aura mistis-mu. Untuk pertama pula aku merasa tersihir oleh keindahan, itupun kamu. Mungkin, hal yang sama pun kau rasakan. Buktinya, mataku silau oleh keindahan cahaya yang menangkupmu. Karena aku tahu sesuatu yang pasti, kau adalah aku dalam bentuk kelembutan.

Sebelas tahun sudah, kita mengarungi bahtera ini. Namun, aku merasa baru kemarin ikrar cinta kita diucapkan. Tiga pejantan tangguh, kini telah ikut mengisi bahtera kita. Silih berganti riak dan gelombang, telah berhasil kita lalui. Karena menuju tujuan itu, engkau terkadang lebih tangguh dariku. Saat aku lemah, engkau menguatkan. Saat aku butuh pegangan, tanganmu kau ulurkan. Kau mendaku; adakah kekuatan seperti aku bercermin di wajahmu, aku menyaksikan diriku sendiri.

Sebelas tahun kini, engkau sempat meragu akan eksistensiku. Tahukah cinta ! betapa engkau lebih dari yang kau bayangkan. Betapa rapuhnya langkahku seandainya engkau melebur dengan semesta. Semoga waktu akan membuktikan putarannya.

Sebelas tahun lalu, 22 januari 2006
hari ini 22 januari 2017_

untuk bidadariku HAPPY WEDDING ANNIVERSARY. 

FIKSASI



Sulit untuk menemukan arti dari sikap ambigumu.
Tidak mungkin.
Engkau saja yang bersikap ambigu.
Bukan..bukan karena ambigu mungkin.
Lalu apa?.
Aku merasa, engkau sudah tidak lagi meletakkan makna itu pada tempatnya.
Maksudmu? Iya.. bukankah kita sedang berada dalam kepastian.
Kau salah, kita sedang berada dalam ketidakpastian.
Justru itulah, satu-satunya kepastian adalah ketidakpastian.
Ah..semakin ngawur saja.
Apa yang ngawur?.
Kata-katamu.
Kau ambigu lagi.
Braakkkk.....
***
Maaf aku sulit mengendalikan diri.
Disitulah letak kelemahanmu.
Apa sebenarnya maksudmu, tadi kau bilang aku ambigu sekarang lemah.
Aku tak sebut kau lemah, tapi kau memiliki kelemahan.
Memangnya kau itu sempurna?.
Tidak, aku tidak menyebut bahwa diriku sempurna.
Lalu apa?
Bukankah kau sudah membandingkan.
Saya hanya mencoba memberikan sudut pandang.
Bagiku itu terlihat menghakimi.
Terserah pendapatmu, bagiku itulah sudut pandang.
Tapi, bukankah kau menganggap sudut pandangmu itu benar.
Apa tidak salah?.
Maksudmu?.
Kau tuduh aku menghakimi, bukankah kau juga melakukannya?.
Memang ku akui, kau pandai mengakali pembicaraan.
Loh..mengakali itu apa?.
Sudahlah, bosan bicara dengan kamu yang sok filosofis.
Waduh..semakin heran aku, kok filosof dibawa segala.
Cukup kataku.....

Sudahlah..

Misteri


Dalam kesunyian malam, ketika hantu malam memeluk semua ciptaan, aku melihat segala sesuatu, kadang-kadang bernyanyi, kadang-kadang berbisik. Kesedihan adalah aku, karena menatap  malam telah membuatku sia-sia. Tetapi aku seorang pecinta dan aroma cinta adalah kesadaran. Itulah hidupku yang harus kujalani.

Akankah engkau puas dengan cinta seorang laki-laki yang telah menjadikan cinta itu sebagai temannya, namun tidak membiarkan itu merajainya?

Akankah engkau temukan damai dengan perasaan jiwa yang remuk dalam badai namun tak membuatmu tumbang.

Apakah merdeka itu ?



Katanya. Derita, darah dan airmata adalah harga kemerdekaan
Benarkah derita itu telah abai?
Sudahkah darah itu berhenti mengalir?
Airmata.., masih deraskah ia ?
Lalu, kita ini sebenarnya merdeka atau dijajah ?

Katanya. Tak  ada lagi penjajah...,benarkah?
Apakah kemiskinan di negeri ini sudah punah?
Benarkah kesenjangan tidak lagi terjadi?
Benarkah berpendapat itu dihargai?
Dimana rasa aman itu?


MENCARI JAWABAN *


Berada dalam kebuntuan, sungguh menyedihkan. Tak bisa lagi berbuat, untuk sesuatu yang berarti. Enggan rasanya memelihara asa, yang kian padam. Harapan-harapan palsu itu, telah memasung semangat. Kemanakah semua arti itu? Sudahkah makna itu, terjawab? Ah..sedemikian memuncah saja tak karuan. Apa gunanya terus mengutuk keadaan ini, bila mereka sudah tak peduli lagi.

Aku menyaksikan, penguasa suka memberi nasehat, tapi tidak punya keteladanan. Ada yang berceramah, tapi ditinggalkan. Ada yang pintar, tapi bobrok. Kejujuran hanya pemanis bibir. Kerusakan moral jadi tontonan. Kepalsuan menjadi identitas. Predikat menjadi Dewa. Status sosial, menjadi harga diri. Agama diperdebatkan dalam ruang hampa. Keadilan, hanya menjadi cita-cita. Kebohongan disamarkan dengan bahasa intelek. Orang miskin digadai. Uang menjadi berhala. Politik dan kekuasaan menyingkirkan persaudaraan. Orang-orang dungu memberikan pengajaran. Orang baik di asingkan. Para penipu, dipuja sedemikian rupa. Hukum tak ubahnya seperti pasar. Pendidikan dinilai dari angka-angka.

SELAMAT JALAN AYAH “KU”

Oleh: Muhammad Syahudin

Suatu hari, saat diskusi sedang berlangsung. Terdengar suaranya yang lantang, khas seorang orator menggema disekitar rumahnya. Ada hal yang begitu berat membebaninya. Banyak kondisi sosial yang menyayat hatinya. Bila kami sedang berdua, dia banyak bercerita dari hatinya tentang fenomena yang terjadi disekeliling kita, mengajak untuk tidak diam membiarkannya terjadi. Saat-saat masih dibangku kuliah itulah, dia banyak mengenalkan kepada saya tentang realitas sosial, tidak jarang perpustakaannya dibiarkan kepada saya untuk mengutak-atiknya.

Rumahnya, merupakan tempat persinggahan para aktivis maupun masyarakat. Bila lagi dalam masalah, dia juga dengan santun selalu bersedia untuk berbagi derita. Walaupun sangat sedikit orang yang mengenal derita yang dialaminya. Sorot matanya tajam, sikapnya begitu tegas. Bahkan, tidak mengenal kompromi terhadap penyimpangan. Namun berbagai kondisi hidup yang dialaminya, tidak membuatnya harus menjual harga diri. Ketika orang-orang tidak bisa membelinya dengan materi, dia dihantam dengan fitnah. Tapi, semuanya beliau hadapi dengan tegar. Sampai-sampai saya merasa beliaulah, orang yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Dia banyak memberi arti dalam hidup saya.

Dirumah itulah, saya sering melihat beliau berjibaku dengan hidup. Kadang, bila sedang tertidur nyenyak tengah malam pun, beliau bersedia menerima tamunya. Beliau tidak pernah menutup pintu, bagi orang yang datang mengadukan persoalannya. Sekarang saya menyadari arti beliau dalam hidup saya, tahun 2000 adalah awal perkenalan sekaligus keakraban itu terjalin, saat itu saya mengadukan berbagai kesulitan saya selama berorganisasi. Masih terngiang ditelinga saya bahwa beliau mengajak saya untuk bersabar sembari mengutip ayat-ayat Al-Qur’an. Saat-saat itulah beliau banyak menularkan kepada saya sebuah semangat untuk membangun kepercayaan diri yang hampir-hampir tidak saya miliki waktu itu.

Beliau mengajak dan mengenalkan saya, untuk banyak-banyak bersama orang yang dirampas haknya, dan bagaimana membangun gerakan mahasiswa. Dirumah beliau, saya banyak menyaksikan orang-orang yang dibinanya keluar masuk, kemudian berhasil dalam hidupnya. Tapi, lihatlah kehidupannya. Rumahnya masih sama seperti pada saat saya bertemu, bila ada hujan turun tidak jarang rumahnya kebanjiran. Gaya hidupnya yang sederhana itulah, tidak jarang membuat teman-teman sekoleganya, kadang tidak bisa bertahan dan mengikutinya.

Hidup beliau dipenuhi oleh semangat perlawanan. Beliau menjadikan agama tidak hanya sekedar ritualitas individu belaka, tapi agama yang dianutnya diterjemahkan dalam gerakan sosial. Bahwa agama tidaklah terlepas dari kondisi masyarakat. Beliau tidak banyak berbicara tentang pluralisme, tapi lihatlah pluralisme itu nampak dari sikapnya, beliau bergaul dan berkomunikasi dengan siapa saja, meskipun berbeda agama sekalipun. Mahasiswa, apalagi para pejabat, politisi, penganut mazhab berbeda dalam Islam, LSM, tokoh agama dan masyarakat mengenal sosoknya. Beliau adalah orang yang dicari sekaligus dihindari, beliau orang yang dikagumi sekaligus ditakuti.

Sewaktu masih dibangku kuliah itulah, saya menjadikan beliau sebagai dosen terbaik saya. Bahkan tidur dan makanpun beliau sering berbagi dengan saya, walaupun beliau dalam keadaan berkekurangan. Hingga suatu saat disela-sela diskusi beliau berkata; “engkau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri, jadi jangan diambil hati kalau saya kadang bersikap tegas seperti kepada anak-anak saya”. Ternyata, kata-kata tersebut seperti sihir dalam hidup saya, yang kemudian mampu mengubah kepribadian saya dikemudian hari.

Saya menyaksikan, beliau tidak segan-segan menumpahkan segenap tenaga dan pikirannya, untuk membela kepentingan masyarakat. Kurang lebih sepuluh tahun, beliau dengan tekun mendampingi masyarakat Battang, untuk merebut kembali tanah adat milik mereka yang dikelola oleh HBI. Saya pun beberapa kali bersama beliau, turun ke basisnya bermalam di tempat pendampingannya. Dan saya melihat sosoknya mampu, memberikan spirit kepada masyarakat, untuk tetap berjuang sampai perjuangan tersebut berhasil. Saya juga menjadi saksi, melihat masyarakat karetan yang berjuang mempertahankan tanahnya. Beliau dampingi, bahkan saya dan teman-teman waktu itu membentuk forum, yang kami beri nama Forum Simpang Empat (FSE), untuk mendukung perjuangan beliau.

Sosoknya yang tegas dan konsisten membuat hampir seluruh masyarakat kota palopo datang mengadukan persoalannya. Ditangannya pula organisasi LP2AD berhasil dibinanya dan bahkan FOSPA (Forum Ojek Se-kota Palopo) juga pernah dirintisnya. Beliau juga punya andil besar menjadikan Palopo menjadi Kota. Banyak orang-orang yang telah menikmati hasil perjuangan beliau, tetapi ia lebih memilih untuk tetap bersama kaum mustad’afien. Beberapa partai politik juga pernah dijajakinya, namun dengan alasan yang sulit dipahami ia kemudian melepaskannya.

Banyak harapan yang di sandarkan dipundaknya dan saya pun masih ingin berbagi pengetahuan dengannya, hingga suatu malam sebuah berita itu sampai ke telinga saya. Engkau meninggal dunia akibat kecelakaan. Sebuah tragedi mengakhiri sepak terjangnya, sungguh diluar dugaan. Kepergianmu menyisakan perih yang mendalam. Kini setelah engkau pergi adalah tugas kami memelihara apa yang telah engkau tanam, menjaga  hal-hal yang engkau senangi sekaligus menjauhkan namamu dari hal-hal yang engkau benci. Selamat jalan Ayah…selamat jalan Kanda…… Semoga  namamu terpatri dalam jiwa kami sebagai sosok pejuang kemanusiaan, sampai suatu saat cita-citamu terwujud. Namamu akan selalu dikenang karena engkau adalah ZAINAL ABIDIN.

(In memorian Uzt. Zaenal Abidin, 1969-2011)
wafat di malam 15 Ramadan 1433 H/2011 M

FILOSOFI KOPI (Suatu jalan kesempurnaan melalui seduhan rasa)



Film Filosofi Kopi yang tayang pada di tahun 2015, cukup menarik perhatian saya. Ketertarikan tersebut mengantarkan pada penelusuran asal muasal film tersebut. Adalah Dewi Lestari, yang akrab di sapa Dee, menulis sastra fiksi dengan judul Filosofi Kopi, lalu di adaptasi ke dalam film layar lebar. Meskipun, ada sedikit perubahan lakon, dari tokoh yang diangkat dalam cerita Dee dengan film tersebut, namun tidak menghilangkan citarasa makna yang hendak disampaikan dalam film Filosofi Kopi.

Sebagai pecandu filsafat dan Kopi, mendengar kata Filosofi Kopi, sudah membuat saya menggeliat mencoba menalar isi pikiran si penulis  fiksi. Menurut Goenawan Mohammad, tulisan fiksi Dee jauh dari “sastra wangi” yang identik dengan kaum perempuan, seperti farfum, bedak, dan seluruh asesoris kewanitaan lainnya. Aforismenya yang orisinal menunjukkan kemampuannya menggabungkan konseptualisasi dengan metafor, yang abstrak dengan konkret. Dee, berhasil menjamah belantara sastra yang selama ini terkesan gender. Keunikan dalam pendekatan sastra Dee, menunjukkan kematangan hidup yang dijalaninya dalam menangkap setiap pesan semesta, lalu, menyulamnya ke dalam bentuk frosa yang indah.

Secara subyektif, saya ingin mengatakan menonton film Filosofi Kopi, akan terasa hambar bila tidak membaca karya fiksi Dee. Ibarat citarasa kopi yang yang pahit tanpa gula. sayapun sebenarnya mencintai film drama, seperti halnya kehidupan. Lakon drama yang dipenuhi citarasa, tidak selamanya sesuai dengan harapan.

Dikisahkan. Ben..adalah seorang maniak Barista (peracik/peramu Kopi). Seluruh hidupnya dihabiskan untuk mempejari kopi. Kecintaannya terhadap kopi, mengantarkannya berkeliling dunia mencari biji kopi terbaik, dan belajar kepada barista-barista handal demi sebuah konsep ideal, meramu kopi terbaik yang pernah ada. Demi menggapai konsep ideal tersebut, Ben, tidak segan-segan menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, hanya untuk mengetahui takaran paling pas untuk membuat café latte, cappuccino, espresso, macchiato dan lain-lain. Ben..memiliki sahabat, bernama Jodi. Bukan seorang barista, tapi lebih kepada penikmat kopi seperti saya. Dengan sedikit modal dan ilmu administrasi yang disandangnya, bersama-sama dengan Ben mendirikan kedai Kopi, yang diberi nama kedai Koffie Ben & Jodi. Dari sinilah, cerita drama dimulai.

Dengan keahlian dan kemampuan Ben dalam meramu kopi, membuat kedai kopi milik Ben & Jodi, menjadi terkenal. Setiap harinya, Ben mengoceh tanpa henti, kedua tangannya menari bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas dan segala macam perkakas seorang barista. Bahkan, setiap inci dari setiap ruanganpun tak luput dari uji kompatibilitas versi Ben. Namun, yang membuat kedai kopi Ben & Jodi menjadi istimewa, adalah melalui pengalaman ngopi yang diciptakan Ben. Ia tidak sekedar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, sehingga terciptalah satu filosofi untuk setiap ramuan kopi.

“Kopi ini sangat berkarakter,....Seperti pilihan anda, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan”.  kata Ben pada salah satu pengunjung wanita.
“bagaimana, dengan kopi tubruk? Seseorang bertanya iseng”.  Ben menjawab dengan cepat, “lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalinya lebih dalam,…kopi tubruk tidak memperdulikan penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat,…tapi, tunggu sampai anda mencium aromanya,…kedahsayatan kopi tubruk terletak pada temperatur, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya : aroma.” Begitulah, kesehariannya Ben, penuh dengan nuansa filosofis dari menu kopi yang disajikan. Puncaknya, Ben mengganti nama kedai kopi tersebut menjadi FILOSOFI KOPI. Ditambah slogan Temukan Diri Anda di Sini.

Suatu hari, Ben ditantang seorang pengusaha untuk membuat kopi yang sempurna. Bila  kopi diseruput, hanya bisa menahan nafas dan berucap  “hidup itu sempurna”. Untuk menunjukkan kesungguhannya, pengusaha tersebut menjanjikan hadiah 50 juta rupiah,. Ben pun, berhasil menjawab tantangan tersebut, lalu racikan kopi Ben di beri nama Ben’s Ferfecto. Hingga suatu hari, seorang pria datang ke kedai kopi, saat menyeruput kopi Ben’s ferfecto, pria tersebut hanya berucap “biasa aja, lumayan”. Ben protes, tapi pria itu bersikukuh, bahwa kopi sempurna hanyalah kopi “Tiwus”.

Tak terima dengan pernyataan tamunya, Ben’s mengajak Jodi untuk mencari tahu keberadaan kopi tiwus. Dengan petunjuk alamat seadanya, Ben dan Jodi akhirnya sampai pula ditempat tujuan. Tak percaya, itulah yang ada dalam benak Ben. Setibanya di tempat tujuan, Seorang pria tua dan istrinya, menyambut mereka dikedai yang sangat sederhana. Pak Seno, begitulah orang-orang memangilnya.

Dengan senyum khas, pak Seno mempersilahkan kedua tamunya duduk. Menyeduh kopi tiwus, sambil berkelakar, “menurut orang-orang, kopi tiwus rasanya luar biasa, meskipun saya menganggapnya hanya biasa-biasa saja”. Untuk menikmatinya, tidak perlu mengeluarkan biaya. Biji kopinya pun sama dengan kopi pada umumnya, hanya dalam proses menanam sampai pengolahan, kopi tiwus diperlakukan laiknya seorang ayah terhadap anaknya.

“Silahkan diminum”, kata pak Seno. Mempersilahkan tamunya, merasakan kopi buatannya. Dengan rasa penasaran yang memuncah, disertai keraguan. Ben mencium aroma, menyeruput kopi tiwus. Seketika itu pula, dada Ben terasa sesak, nanar matanya suram, badannya terasa lemas, lututnya pun ikut bergetar. Ada beban yang menghimpit jiwanya. Tak sanggup menerima kenyataan, bahwa memang kopi tiwus memiliki keistimewaan rasa. Ternyata, kopi sempurna ala Ben, hanyalah klaim simbolitas semata, ia tersadar bahwa kesempurnaan bukan soal “kata”, tetapi “yang merasakan”.

Jauh sebelumnya, Aristoteles mengatakan; bahwa kesempurnaan itu adalah kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan semu.  Mungkin saja, Ben adalah cerminan diri kita, memaknai hidup sebagai sebuah kompetisi, kita ingin sempurna, tapi sulit menerima kenyataan. Ingin menjadi terbaik, tapi tidak terima kebaikan yang lain. Sampai suatu saat, mulut kita bungkam, karena tidak lagi bisa membohongi rasa.

Anggaplah kopi sebuah jalan kesempurnaan rasa, setiap orang bisa memilih variannya. Pecandu kopi cappucino, tidak bisa memaksa pecandu kopi tubruk tentang rasa terbaik. Setiap orang berhak memilih kesempurnaan rasanya, tapi bukan berarti perbedaan itu harus dipertentangkan, toh..kita sama-sama pecandu kopi, bukan?. Dalam hidup, manusia merasakan pengalaman ruhani yang berbeda, sesuai tingkatannya. Karena itulah, meskipun sama-sama ingin meraih kebahagiaan, bukan berarti harus sejalan dalam rasa. Setiap kita, berhak memilih dan menikmati rasa kopi, jangan memaksakan rasa kopi.

Kopi mengajarkan kehidupan, dua sisi rasa yang menyatu. Kita tidak bisa menghilangkan sisi pahit dengan manisnya gula, karena akan kehilangan hakikat kopi. Biarkan saja ia menyatu dalam rasa, laiknya kehidupan. Rasa pahit dan manis, silih berganti menguji kesungguhan kita menempuh jalan kesempurnaan. Tak elok rasanya untuk lari dari kenyataan itu. Cobalah untuk menikmati pahitnya hidup, sebagaimana pecandu kopi yang tak ingin kehilangan rasa pahitnya kopi.

Cinta yang menentukan rasa, mungkin seperti itulah resep kopi tiwus. Kopi yang disajikan dengan cinta, dapat menguatkan rasa. Tanpa cinta, kita tidak akan merasakan kenikmatan kopi. Coba anda bayangkan, bila anda ke kedai kopi, tapi tidak mendapatkan pelayanan yang baik, kemungkinan besar anda akan mengejek rasa kopi. Karena itulah, sampai sekarang, saya lebih bisa merasakan kenikmatan kopi, bila diseduh oleh orang-orang yang penuh cinta, seperti istri dan sahabat terdekat.

Merasakan kebahagiaan dan cinta, adalah harapan setiap manusia. Ben menemukan titik balik dalam kehidupan, tatkala hijrah dari obsesinya menuju fitrahnya. Akahkah kita sama seperti Ben, menemukan jalan kesempurnaan melalui seduhan rasa....???

Palopo, 29 april 2016
Muhammad Syahudin



peradaban dapat tercipta dengan dialog