Showing posts with label Filsafat. Show all posts
Showing posts with label Filsafat. Show all posts

Filsafat Pendidikan Islam

       
A.    Pengertian  Pendidikan Islam
Pendidikan dan manusia merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena pendidikan hanya untuk manusia dan manusia menjadi manusia karena adanya pendidikan. Untuk itu akan dikaji pengertian pendidikan itu dari dua aspek yaitu aspek etimologis dan  aspek terminologis.
Menurut mu’jam (Kamus) kebahasaan sebagaimana dikutif Ramayulis, kata  tarbiyat memiliki tiga akar kebahasaan,[1] yaitu:

Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan


Sebelum berbicara tentang hikmah muta’aliyah (selanjutnya kita sebut sebagai filsafat hikmah), saya perlu mengemukakan sejumlah pendahuluan berikut. Pertama, manusia adalah makhluk yang secara intrinsik (fitriah) mencari kesempurnaan. Fitrah ini mendorong manusia untuk terus-menerus berevolusi dan menyempurna. Kedua, dalam mencari kesempurnaan ini manusia akan mengandalkan pelbagai daya yang telah dimilikinya. Ketiga, pengetahuan dalam pengertian luas adalah kriteria untuk mengukur tingkat evolusi dan kesempurnaan manusia. Keempat, setidaknya ada enam kategori pengetahuan manusia:


Kearifan Puncak


Syiraz adalah kota bersejarah Iran dan terletak di wilayah Pars. Di zaman Mulla Sadra, pemerintah Iran di bawah kekuasaan keturunan Shafawiyan yang secara resmi mengakui kemerdekaan wilayah Pars, saudaranya menjadi raja di wilayah Pars dan salah satu menterinya adalah ayah Mulla Sadra.
Ayah Mulla Sadra –Khajah Ibrahim Qiwami– seorang negarawan yang cerdas dan mukmin serta memiliki kekayaan yang melimpah dan kedudukannya yang mulia lagi terhormat, namun setelah menunggu bertahun-tahun ia baru dianugerahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Sadruddin) dan sehari-hari dipanggil Sadra,  setelah dia dewasa kemudian digelari mulla yang berarti ilmuwan besar lalu digabungkan dengan nama kecilnya menjadi Mulla Sadra.

Mullâ Shadrâ, Kiprahnya dalam Dunia Filsafat


Biografi
Namanya adalah Shadr Al-Dîn Al-Syirâzî yang terkenal dengan sebutan nama Mullâ Shadrâ, Mullâ Shadrâ dilahirkan di Syiraz pada 1572, lalu pindah ke Isfahan, yakni sebuah kota pusat studi di wilayah Persia yang penting pada masa itu. Di Isfahan, Mullâ Shadrâ berguru kepada dua filosof yang terkenal sebelumnya, yaitu Mîr Dâmad dan Mîr Abû Al-Qâsim Findereski (w. 1640), lalu ia kembali lagi kekota kelahirannya untuk menjadi dosen pada sebuah perguruan tinggi di sana. Konon, Mulla Shadra pernah melaksanakan ibadah haji dengan berjalan kaki sebanyak tujuh kali, dan wafat di Bashrah sekembalinya dari ibadah haji yang ketujuh pada tahun 1641.

Agama dan Tafsir Kekuasaan















Eksistensi manusia di muka bumi, tidak lepas dari bangunan yang tunggal. Ibarat prisma, memancarkan dan memercikkan cahayanya. Seperti air, mengalir dalam urat nadi kehidupan. Sulit menafikan keniscayaan tersebut dari realitas. Merasakan kehadiran agama adalah keinginan Ilahiyah, yang ditiupkan pada setiap manusia. Namun, secara gradual, perkembangan manusia pada dimensi sosiologis, terbentuk dua kutub ekstrim dalam mazhab pemikiran. Yaitu, matrealisme ekstrim dan spiritualisme ekstrim.

Dostoyevsky mengatakan: “apabila, Tuhan disingkirkan dari alam, maka semua tindakan manusia diperbolehkan”. Sebuah kekecewaan terhadap “Tuhan” yang telah dianut manusia. Senada dengan itu, Lenin berucap: “agama harus diperlakukan secara bengis”. Louis Van Verba, malah lebih berani mengatakan: “penganut agama, adalah mereka yang mengalami kebuntuan berfikir”. Mereka, berada pada kutub matrealisme ekstrim. Pradigma kritik tersebut, didasari suatu alasan, bahwa agama merupakan produk kekuasaan. Dengan kekuasaannya, dianggap berhak untuk menafsir agama.

SOFISME GAYA BARU

SOFISME GAYA BARU

right_way


“…Jika kalian menyangka bahwa dengan membunuh seseorang kalian dapat menjegal orang itu sehingga tak mengancam hidup kalian yang tercela, kalian salah duga; itu bukan jalan terhormat dan membebaskan; jalan paling mudah dan bermartabat bukanlah dengan memberangus orang lain, namun dengan memperbaiki diri kalian sendiri.” (Socrates, 470-399 SM)


Jauh sebelum pengetahuan menjadi pemantik perkembangan Iptek, yang di tandai dengan era kebangkitan dunia Eropa dari kegelapan pengetahuan. Socrates lahir dengan jalan pemikiran yang menjadi spirit kebangkitan tersebut. Socrates dibesarkan ditengah pemikiran kaum sofis yaitu kelompok kaum muda yang dikenal sebagai sarjana atau cendikia.

Karena mendewakan  retorika sebagai dalil pembenaran atas pengetahuannya, kaum sofis terjebak pada Relativisme. Yaitu, kebenaran hanya disandarkan pada asumsi pribadi semata. Dalam bahasa inggris sofis disebut dengan “sophist” menunjukkan seseorang yang menipu orang lain dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi yang tidak sah. sehingga, Aristoteles menyindir para sofis hanyalah sekelompok sarjana yang mengharapkan upah dari setiap ceramah yang dilakukannya. Dalil apapun akan digunakan untuk mendukung argumentasinya, termasuk cacian, makian maupun menghujat, sudah menjadi hal lumrah bagi kaum sofis.

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM STUDI ISLAM


I.      PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Secara umum, ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Dalam masa Aufklarung atau Zaman Pencerahan beberapa tokoh filsafat seperti Auguste Comte, Ernst Mach, dan para filsuf dalam Vienna Circle, berpendapat bahwa tidak perlu ada perbedaan metode penelitian atau pendekatan dalam kedua kelompok ilmu pengetahuan tersebut.
 Kesuksesan pendekatan (metode) ilmiah dalam ilmu-ilmu alam yang berhasil menjelaskan gejala-gejala alam sampai menjadi teknologi, diyakini akan dapat diperoleh juga jika diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Pandangan atau aliran semacam ini disebut aliran positivisme. Dalam perkembangannya, usaha penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial menimbulkan masalah, bukan saja dari segi keilmuan, tetapi juga segi kemanusiaan. Masalah inilah yang akhirnya memunculkan metode-metode alternatif dalam ilmu-ilmu sosial, yang salah satunya adalah hermeneutik atau penafsiran atau interpretasi.[1]

FILSAFAT POSITIVISME DAN POSTMODERNISME POSITIVISME


FILSAFAT POSITIVISME DAN POSTMODERNISME

POSITIVISME

Kata Positivisme merupakan turunan dari kata positive. John M. Echols mengartikan positive dengan beberapa kata yaitu positif (lawan dari negatif), tegas, pasti, meyankinkan[1]. Dalam filsafat, positivisme berarti suatu aliran filsafat yang berpangkal pada sesuatu yang pasti, faktual, nyata, dari apa yang diketahui dan berdasarkan data empiris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Materialisme Dialektika: Analisis dan Kritik

Materialisme Dialektika: Analisis dan Kritik

 brain-light


Posted: November 20, 2008 in Ayatullah M.T. Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid dan Teologi

Materialisme Mekanika dan Dialektika

Materialisme memiliki berbagai macam aliran. Setiap aliran menafsirkan fenomena alam ini dengan caranya masing-masing. 
Di awal era modern, kaum Materialisme—yang terilhami oleh fisika Newton—menafsirkan fenomena alam ini sesuai dengan gerak mekanik, yaitu bahwa setiap gerak merupakan akibat dari kekuatan penggerak tertentu, yang lalu masuk ke dalam benda yang bergerak. Artinya mereka menggambarkan bahwa alam ini merupakan mesin raksasa; yang kekuatan penggerak di dalamnya berpindah-pindah sehingga mengakibatkan gerak seluruh mesin. Teori ini dinamakan Materialisme Mekanika.

IDEOLOGISASI ISLAM: JALAN MENUJU REVOLUSI (PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI)

IDEOLOGISASI ISLAM: JALAN MENUJU REVOLUSI (PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI)

alishariatithumbnail 

Oleh: Anjar Nugroho

Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga, multi-interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam pandangan dunia (weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Syari’ati dapat disebut pemikir politik-keagamaan (politico religio thinker).[1]
Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus

MASALAH BEBAS NILAI DALAM ILMU PENGETAHUAN



Bab I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang Masalah

Filsafat sebagai sebuah pengetahuan dengan metode berfikir yang analisis dan kritis sejak kemunculannya oleh Socrates di Yunani pada mulanya adalah sebagai upaya untuk melakukan

SOSIOLOGI POSTMODERNISME



Bab 1
Postmodernisme dan perkembangan ilmu sosial

Postmodernisme dalam perkembangannya banyak sekali menuai penilaian dan pandangan dari makna murni dari postmodernisme. Sebagian besar orang mengartikan postmodernisme sebagai sesuatu yang “beda”, semau gue, dan biasanya melenceng dari kebiasaan umum masyarakat sehingga banyak yang memaknai postmodernisme sebagai hal yang negatif.
Postmodernisme banyak merasuki aspek kehidupan, seperti Seni posmo, sastra posmo, film posmo, arsitektur posmo, ideology posmo, budaya posmo, dan bahkan teologi posmo adalah beberapa contoh maraknya kehadiran ide “posmodernisme” dalam berbagai sisi kehidupan kontemporer. Padahal posmodernisme perlu diletakkan secara prooporsional dalam tataran arus pemikiran filsafat dan social terkini dengan merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh teori social postmodern.

Prinsip-Prinsip Epistimologi Murtadha Muthahari dan kontribusinya terhadap Ideologi


Manusia merupakan sebangsa binatang. Dia memiliki banyak persamaan dengan binatang lainnya. Pada saat yang sama manusia memiliki banyak ciri yang membedakan dirinya dengan binatang lainnya,[1] salah satu di antaranya yaitu berfikir. Manusia adalah makhluk berfikir dan merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibanding makhluk Tuhan lainnya, kapasitas berfikir yang dimilikinya menjadikan manusia menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk Tuhan yang lain.[2] Manusia mempunyai kemampuan berfikir, sehingga mampu membuat keputusan dangan dasar pikiran, akal dan nalar.[3] Binatang memiliki kemampuan mengenal (mengetahui), segala sesuatu yang ada di sekitarnya hanya melalui indra (alat untuk merasa, mencium bau, mendengar, melihat, meraba dan merasakan sesuatu secara naluriah).

peradaban dapat tercipta dengan dialog